Prolog

24 3 7
                                    

Sang fana merah jambu telah menunjukkan eksistensinya, didapati netra menangkap cahaya perlahan meredup, ditangkap pula oleh indra pendengaran burung berkicau memanggil koloninya untuk segera kembali menuju sarang, bocah-bocah  berbedak setebal catatan dosa koruptor dengan sarung yang disampirkan pada pundak mulai berlarian menuju masjid.

Tak lama lagi langit kelam kembali, waktunya mengistirahatkan diri dari gilanya kehidupan dunia. Tidak ada yang lebih menyenangkan berjalan kaki dengan rekan seperjuangan bertemankan sang fana merah jambu. Setiap kaki yang terlangkah, senyum senantiasa menyertai dengan sesekali terdengar canda tawa.

Rampung sudah. 3 tahun nan penuh arti berakhir di hari ini, 27 Februari 1980. Masa SMA, selalu dikaitkan dengan masa-masa terindah dalam hidup. Cinta monyet, cinta bertepuk sebelah tangan, serta-merta hal-hal sepele yang justru menjadi alasan terkuat jika masa SMA adalah masa-masa terindah.

"Setelah ini kamu akan melakukan apa, Ayu?"

Ayu, gadis bernama lengkap Lituhayu Nirbita Rumi menoleh pada temannya, Abinaya Diajeng Indriya yang kerap kali dipanggil Ajeng. Ayu tak langsung menjawab, lebih dulu ia berlaga dengan pikirannya sendiri. Ayu sendiri ingin pergi merantau untuk berkuliah di salah satu Universitas favoritnya di Yogyakarta. Sedangkan keinginan orang tuanya adalah ia tetap di kampung dan menikah dengan anak kepala desa yang terkenal kaya raya, namun juga terkenal dengan sifatnya yang tak cukup dengan satu wanita.

Tentu Ayu tak ingin menikah dengan anak kepala desa yang telah beristri 4 dan anak 9 tersebut, meskipun Basuki Tjahaja Purnama si anak kepala desa yang masih tergolong  cukup muda, yakni 36 tahun. Mendengar rumor tentangnya saja membuat bulu kuduk Ayu meremang dan perutnya mendadak mulas, belum lagi ketika ia harus menjadi istri kelima. Ayu tak akan pernah mau untuk itu.

"Aku ingin merantau yang jauh, mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan membangun sekolah yang layak untuk anak-anak di sini." Ayu bersuara setelah berlaga dengan pikirannya.

Ajeng yang sebelumnya tengah fokus memperhatikan kakinya yang tengah melangkah serta menyipak kerikil-kerikil di tepi rel kereta api langsung menatap Ayu, "Benarkah?" Ajeng terkekeh kecil. Pasalnya, cita-cita Ayu sangatlah mustahil.

Ayu melirik tak suka, ia dorong sedikit pundak Ajeng lalu berkata, "Memangnya ada apa dengan cita-citaku? Tidak ada yang salah pun, lagipun kamu juga mau 'kan anakmu dengan si aryo aryo itu mempunyai sekolah yang layak?"

"Bukan begitu, tidak ada yang salah dengan cita-citamu yang terkesan mustahil. Aku tau ayahmu sangat keras untuk menikahkanmu dengan pria keparat itu," ungkap Ajeng memberi pengertian pada Ayu.

"Soal ayah, aku bisa membujuknya. Palingan aku akan diberi tato cinta dari rotan saja," kelakar Ayu yang sama sekali tak terdengar lucu di telinga Ajeng.

"Terserahlah, apapun keputusanmu aku akan mendukungnya." Ajeng pasrah, Ayu adalah tipikal gadis yang keras kepala, jika ia sudah yakin dengan keputusannya, sampai berbusa pun mulut yang memberi tau, tak akan ada gunanya.

Akan tetapi, biarlah Ayu menjalani pilihannya. Bagaimanapun Ayu adalah sahabatnya, apapun keputusannya, selagi itu baik Ajeng akan selalu mendukungnya.

Ayu tersenyum sumringah, tanpa aba-aba Ayu melompat pada Ajeng seraya memeluknya erat, hingga rasanya nafas Ajeng sesak dan tubuhnya akan meledak sekarang juga. Ajeng memberontak, ia pukul-pukul punggung Ayu yang bergerak kesana-kemari membawanya di dalamnya.

"Lepas, kau membunuhku!" berkali-kali Ajeng berontak, setelahnya, ia berhasil lepas, lalu segera meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

Ayu terkekeh, ia kalungkan lengannya pada pundak Ajeng yang notabenenya Ayu Lebih pendek darinya. Layaknya seekor kucing mencoba merangkul harimau. Ayu mulai melangkah kembali, sepanjang perjalanan keduanya bercerita panjang lebar kali tinggi. Lebih tepatnya Ajeng yang mendominasi, dimulai dari hayalan Ajeng yang akan menikah beberapa bulan setelah kelulusan, membuat klub sepakbola bola sendiri dengan suaminya, dengan kata lain ia ingin menjadi ibu rumah tangga dengan 11 anak.

Ayu bergidik ngeri mendengarnya, melahirkan satu saja gilanya luar biasa, seperti bibinya yang meregang nyawa ketika melahirkan anaknya ketiganya. Apalagi 11, bisa-bisa setelah melahirkan 11 anak Ajeng akan meregang nyawa dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Tetiba, Ajeng berhenti, ia lepaskan rangkulan Ayu lalu segera melangkah entah kemana tujuannya.

"Benarkah kau akan menikah secepat ini? Maksudku, kau benar-benar yakin memiliki 11 anak? Mendidik anak satu saja, perlu usaha yang luar biasa agar ia bisa menjadi manusia yang selayaknya." bertanya lirih serta pelan suara ketika Ayu bertanya, berjaga-jaga jika ucapannya melukai perasaan Ajeng.

Ajeng yang tengah memanjat pohon jambu biji, seketika terhenti lalu duduk pada cabang-cabang ranting pohon di dekatnya. "Tentu saja. Soal merawat anak, tak perlu dirisaukan, yang terpenting aku menikah dan tinggal bersama dengan Aryo. Ibuku ada yang bisa mengurusnya," balas Ajeng santai seraya ia gapai jambu lalu ia kunyah.

"Hei, menikah itu bukan hanya tentang ijab qobul dan bukan tentang tinggal bersama saja. Menikah itu fase selanjutnya dari mendewasakan diri dengan berbagai cobaan yang akan datang nantinya. Setidaknya, ketika telah memutuskan menikah, beban ayah ibu sedikit berkurang, bukan ditambah dengan harus merawat dan menghidupimu dengan suami serta anak-anak kamu, Ajeng." Ayu geleng-geleng mendapati begitu tenangnya Ajeng dan tak berfikir kedepannya tak akan sebaik harapan.

Jika Ayu yang geleng-geleng kepala melihat Ajeng dari sebuah kayu kecil, maka Ajeng di atas sana begitu santainya mengunyah jambunya dan sesekali membuang biji yang ikut termakan.

"Sudah ya, ceramahnya nanti saja, calon ibu guru." Ajeng gabungkan kedua tangannya seolah meminta ampun.

"Cita-citaku menjadi ibu rumah tangga, dan kau ingin menjadi wanita karir yang membantu ibu rumah tangga dalam mencerdaskan keturunannya, oke?" Ajeng gapai sebuah jambu tergantung manis di sampingnya, ia lempari pada Ayu dan langsung disambut dengan sempurna oleh mulutnya yang ternganga lebar.

Keduanya terkekeh, Ayu turunkan kepalanya lalu ia pegangi jambunya dan keduanya saling diam menikmati santapannya.

Welcome to my second story,
  Readerssssss.

Semoga menikmati bacaannya dengan berbagai kekurangan dan typo di sana-sini.

Follow akun Ig Mimin @raudhatulazkaa.

Di Bawah Langit Jogja Where stories live. Discover now